Mengajar TK itu menantang

Wednesday, November 30, 2011

Seumur hidup saya belum pernah membayangkan suatu saat nanti (saat ini) akan menghadapi (mengajar) anak-anak yang masih lembut-lembut, anak-anak yang usianya masih balita. Jangankan menghadapi anak TK, mengahadapi anak kelas 1 atau kelas 2 SD saja terbayang sulitnya minta ampun, namun tidak boleh diberi ampun. Guru harus siap mengamalkan ilmunya pada siapapun yang membutuhkannya. Itu idealnya. Meskipun begitu, pengelola pendidikan pun tidak akan asal menempatkan seorang guru. Iya, kan?

Jika dihitung mundur sampai pada masa awal saya mengajar, formal maupun nonformal, saya sudah 10 tahun menjadi guru. selama 5 tahun saya mengajar SD dan secara akumulatif 5 tahun pula mengajar SMA. Dalam semua lini, hal itu sama-sama menantang, tentu dengan tantangan yang berbeda. Menghadapi anak usia SD berbeda dengan anak usia SMA. Dari sisi psikologis keduanya membutuhkan cara penanganan yang berbeda. Hal ini berpengaruh pada perbedaan pendekatan pembelajaran yang digunakan.

Lalu, bagaimana dengan menghadapi anak usia balita pada Taman Kanak-Kanak? sepertinya hal ini lebih unik lagi. Di TK, guru dihadapkan pada fungsi yang lebih kompleks. Setidaknya inilah yang saya rasakan. Saya merasakan betapa rumitnya menghadapi anak-anak. Namun demikian, bukan berarti kerumitan itu sebagai benang kusut yang tidak dapat diurai. Semua kerumitan tetap ada cara mengatasinya. Bergantung pada cara kita menyikapinya.

- Tak terbayangkan, saya akan berhadapan (akhirnya saya ubah sikap saya menjadi SEHADAP) dengan anak-anak kecil yang menangis ketika ditinggalkan ibu/bapaknya di sekolah.
- Tak terbayangkan, saya akan menghadapi (saya ubah dengan istilah MENGUASAI) suasana kelas yang murid-muridnya duduk tidak di bangku, melainkan di pangkuan orang tuanya masing-masing.
- Tak terbayangkan, saya mengajar dengan ditonton oleh wali murid di dalam satu ruangan.
- Tak terbayangkan, saya akan berinteraksi dengan murid-murid yang lebih nurut (nemplok) pada orang tuanya.
- banyak hal yang tak terbayangkan sebelumnya.
Namun, itulah keunikan. Itulah tantangan. Itu semua tidak pernah saya temui selama saya mengajar di SD maupun SMA.

Kondisi seperti itu tidak mendukung untuk dilakukan pembelajaran. Apalagi jika kita menargertkan pada tercapainya hasil belajar yang telah digariskan oleh kurikulum. Silakan bayangkan sendiri! Bagaimana mau mengajar kalau muridnya pada nangis. Bagaimana mau mengajar kalau muridnya masih enggan lepas dari pangkuan orang tua. Bagaimana mau mengajar dengan nyaman dan leluasa kalau di kelas masih disesaki oleh kehadiran wali murid. Itulah yang akan kita rasakan apabila kita memandang bahwa mengajar hanyalah menyampaikan materi.

Oleh karena itu, saya mengubah target mengajar. Tujuan pembelajaran yang digariskan oleh kurikulum tidak lagi jadi sasaran utama. Membentuk sikap anak-anak agar mau belajar (entah sambil bermain atau sambil apapun) itu lebih penting. Jika itu berhasil dilakukan, maka hasil belajar pun akan dengan mudah dapat dicapai.

Untuk itu, harus dikondisikan agar anak-anak lebih tertarik pada kita, pada apapun yang kita sajikan, sehingga pelan-pelan si anak tidak terlalu "mengidolakan" orang tuanya (minimal selama di sekolah). Melawak, merayu, dll. juga dilakukan agar anak-anak terjerumus pada skenario sekolah. Selanjutnya, kita harus bertanggung jawab mencari hal-hal baru agar anak tetap tertarik berada di dalam skenario kita.


Kutai Barat

Post a Comment

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP